Kerajinan Perak adalah ciri khas dari kota tua di Yogyakarta, yaitu Kotagede. Sejarah Kotagede berawal ketika ketika Panembahan Senopati memerintahkan para abdi dalem untuk membuat perhiasan dari bahan emas dan perak. Munculnya kerajinan perak di Kotagede bersamaan dengan berdirinya kerajaan Mataram Islam pada abad ke 16 Masehi. Sebuah bukti yang menunjukkan bahwa kerajinan perak, emas dan logam sudah dikenal sejak abad ke-9 Masehi. Banyak di temukan prasasti di Jawa Tengah yang di dalamnya tercantum pande emas, pande perak, pande besi dan lainnya. Perkembangan kerajinan perak di Kotagede mengalami masa keemasan antara tahun 1930 -1940 dengan munculnya banyak industri perak dan peningkatan kwalitas produk serta motif terbaru.
Kerajinan perak Kotagede mulai berkembang dan merambah pasaran dunia ketika Kotagede kedatangan seorang pedagang dari Belanda yang memesan keperluan rumah tangga dari bahan perak. pesanan berupa tempat lilin, peralatan makan dan minum, asbak, piala, tempat serbet dan perhiasan dengan gaya Eropa dengan motif khas Jogja. Pesanan didominasi dengan bentuk daun, bunga, dan lung dan ternyata diminati orang masyarakat Eropa. Sejak saat itu, berbagai order datang dengan jumlah yang terus meningkat. Untuk menjaga dan meningkatkan kualitas produk, pemerintah Hindia Belanda mendirikan satu lembaga yaitu Stichting Beverdering van het Yogyakarta Kenst Ambacht. Lembaga yang memberikan pelatihan tentang teknik pembuatan kerajinan perak dan pengembangan akses pasar. Kegiatannya antara lain, mengikuti Pameran Pekan Raya di Jepang pada tahun 1937 dan di Amerika pada tahun 1938.
Setelah mengalami pasang surut dan industri kerajinan perak Kotagede tetap berjalan. Memasuki wilayah Kotagede berarti siap untuk mengunjungi kerajinan perak. Di Kotagede, wisatawan tidak sekedar memilih atau membeli souvenir, namun bisa menyaksikan proses pembuatannya. Proses produksi perak diawali dengan peleburan perak murni yang berbentuk kristal dan dicampur dengan tembaga dan kadar perak standar adalah 92,5%. Perak yang sudah dilebur dan berbentuk cair dicetak untuk dibentuk sesuai pesanan. Proses kedua ini disebut singen atau cetak. Proses berikutnya adalah mengondel, yaitu memukul mukul hasil cetakan untuk mendapatkan bentuk sesuai keinginan. Proses tersebut memerlukan tingkat ketrampilan tersendiri. Setelah membentuk motif dan kemudian diukir untuk mendapatkan motif yang diinginkan. Proses ini memerlukan tingkat keahlian yang tinggi. Setelah diukir kemudian dirakit. Proses terakhir adalah finishing, yaitu membuat hasil produknya menjadi mengkilap dan menampakkan pamornya. Standar kualitas kerajinan perak adalah 92,5%, jika kurang dari itu belum layak disebut perak. Standar baku ini ditetapkan untuk menjaga kualitas produk, sedangkan kisaran harga ditentukan oleh kandungan kadar perak per gram dan tingkat kesulitan dalam pembuatannya.